Larangan Hijab dan Mimpi Muslimah Jadi Atlet Sepak Bola
Mama Diakité, 23 tahun, sangat suka bermain sepak bola. Sepuluh tahun sudah perempuan muda ini bermain di klub sepak bola bersama teman sekota. Namun, ada kemungkinan dia mesti merelakan itu. Larangan hijab dalam olahraga kini dalam proses masuk undang-undang negaranya.
"Itu bisa menjadi akhir sepak bola bagi saya," kata Diakité belum lama ini.
Diakte adalah anggota Les Hijabeuses. Kelompok berbasis di Paris ini terdiri dari wanita-wanita muda berhijab yang bermain sepak bola. Mereka tengah berjuang memprotes larangan tersebut. Bagi mereka itu seperti mengucilkan wanita Muslim dari dunia olah raga.
"Seharusnya talenta yang menjadi tolak ukur, bukan apa yang Anda kenakan, warna kulit, atau agama. Kami di lapangan untuk bermain sepak bola. Jadi talenta kami yang harusnya dilihat, bukan yang lainnya," ujar Diakite.
Senat Prancis mengambil pemungutan suara untuk melarang hijab dan "simbol-simbol agama" lain dalam olahraga pada Januari 2022. Partai sayap kanan Les Republicains mengajukan ini dengan dalih hijab dapat membahayakan keamanan atlet. Sebanyak 160 anggota senat menyetujui, 143 menolak. Ini berarti bahasan bakal masuk ke tahap selanjutnya menuju pengesahan masuk undang-undang.
Muslimah Prancis sudah dilarang menggunakan hijab di beberapa tempat. Busana tertutup seperti burka dan nikab dilarang dikenakan di tempat publik, mulai dari jalan-jalan umum, transportasi publik, tempat berbelanja, rumah sakit, dan bioskop. Prancis memberlakukan larangan sejak April 2021. Mereka mengesahkan hukum yang melarang wajah ditutup di ruang publik.
Larangan mengenakan hijab ini mendapat kritik dari banyak pihak. Apalagi alasan yang diajukan tidak mudah dicerna. Banyak atlet Muslim mengenakan hijab berkompetisi dalam Olimpiade. Saat ini, banyak pula busana Muslim yang sudah didesain khusus agar atlet perempuan aman ketika bertanding dengan kepala tertutup.
Fatima Bent, ketua organisasi feminis dan antirasisme Lallab di Prancis, menilai argumen larangan hijab untuk membantu wanita Muslim tidak masuk akal dan tidak berhubungan dengan kondisi olah raga.
"Bahasan ini datang dari pendekatan kolialisme Eropa dimana perempuan Muslim selalu dianggap sebagai wanita yang harus diselamatkan; dari keluarga mereka, dari asal usul mereka, yang membuat mereka harus menghilangkan identitas mereka supaya bisa membaur," kata Fatima. "Ini adalah perpanjangan tangan dari kisah kekuatan kolonial Eropa yang menegaskan dominasi, menegaskan perempuan Muslim tunduk dan mereka dilihat sebagai inferior."
Salah satu pendiri Les Hijabeuses, Founde Diawara mengatakan hijab seolah-olah terus diidentikan sebagai gerakan politik di Prancis. Ia merasakan betul bagaimana hidupnya sejak kecil tidak nyaman.
Saat SMA, ia mengalami banyak ujian harus selalu melepas hijab sebelum berangkat karena sekolah melarang. Saat usia 15 tahun, ia pun pernah dikucilkan dari lapangan hijau karena berbusana menurut keyakinannya sebagai Muslim.
"Olah raga seharusnya terbuka bagi semua orang dan seharusnya memegang prinsip kesatuan dalam keberagaman," kata Diawara.
Diawara mengatakan, tanpa larangan hijab pun, wanita dan Muslimah di Prancis sudah mengalami banyak kendala. Situasi tidak ramah, membuat sebagian besar dari mereka ragu mewujudkan mimpi menjadi atlet sepak bola.
"Mereka harus setop berpikir penutup kepala sebagai bendera politis. Ketika kami bermain bola selama 90 menit, kami hanya memikirkan bola dan menendangnya. Kami di sana bukan ingin membuat gerakan atau memaksakan keyakinan kami," tambah dia.
Larangan berhijab dalam sepak bola menjadi pro kontra sejak lama. Federasi Sepak Bola Dunia FIFA sempat menjatuhkan larangan penggunaan jilbab bagi pesepakbola Muslimah pada 2007 silam.
Namun, keputusan itu akhirnya dianulir dan dicabut pada 2012. Sekretaris Jenderal FIFA Jerome Valcke menegaskan jilbab dalam sepak bola tidak menyimbolkan agama tertentu, melainkan simbol budaya. Ia juga menepis argumen terkait keamanan atlet.
"Keamanan dan isu medis telah dihapus dari pertimbangan pelarangan penggunaan jilbab. Telah disepakati para pemain diperbolehkan mengenakan jilbab," sebut Valcke saat itu.
Sumber: CNN.com, AFP
Lihat juga: Toleransi Indah Sepak Bola Wanita