Ulasan

Mbappe Pangeran, Benzema Masih Rajanya

Striker Real Madrid Karim Benzema merayakan gol ke gawang PSG pada laga Liga Champions, Kamis (10/3/2022) dini hari WIB.
Striker Real Madrid Karim Benzema merayakan gol ke gawang PSG pada laga Liga Champions, Kamis (10/3/2022) dini hari WIB.

MADRID -- Dari belasan bintang bertabur di Santiago Bernabue malam tadi, satu dari Perancis memang diperkirakan menyala paling terang. Namun, di luar dugaan, bukan sosok yang sebelumnya ramai diramalkan.

Di tengah spekulasi kepindahannya ke Madrid musim panas mendatang, Kylian Mbappe sudah melakukan apa yang diduga bakal dilakukannya: mencetak gol dan menguatkan citranya sebagai pemain terbaik dunia. Namun, bintang paling terang malam tadi bukan dia, melainkan 'abang besarnya', Karim Benzema.

Ketika Mbappe menjadi sorotan dalam laga ini, Benzema menegaskan sebuah pengingat, bukan hanya untuk masyarakat Spanyol, namun juga dunia, bahwa ia masihlah rajanya di Madrid.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Ia menjadi pemain tertua yang mencetak tiga gol (hat-trick) di sejarah Liga Champions dan mengantar timnya melaju ke perempat final melalui kemenangan 3-1 dan menang agregat 3-2-- membuat Bernabue gemetar dalam euforia malam tadi.

Selebrasinya, yang menguarkan kebanggaan, seolah berteriak lantang. Terlepas dari performanya, Madrid sempat memiliki kekurangan. Mereka kurang bermain garang pada menit-menit awal. Namun, Benzema selalu bisa diandalkan.

Tiga sengatannya malam ini membuatnya melampaui legenda Alfredo Di Stefano sebagai pencetak gol ketiga terbanyak Madrid dalam sejarah dengan 309 gol - tepat di belakang Raul Gonzales dan Cristiano Ronaldo.

Benzema kerap menjadi penyelamat Madrid. Bukan sekali ini saja, dalam banyak kesempatan. Tiga golnya Rabu dini hari tadi menggenapkan capaiannya menjadi delapan di Liga Champions musim ini dan 77 sepanjang karier (hanya Ronaldo, Lionel Messi, dan Robert Lewandowski yang mencatatkan lebih).

Musim ini, ia sudah menyarangkan 30 gol dan 11 assist dalam 31 pertandingan di seluruh kompetisi. Itu berarti ia terlibat dalam 41 gol Los Blancos dari 31 pertandingan. Padahal tim ini kerap kesulitan melebarkan peluang untuk pemain 34 tahun tersebut. Ini jelas layak masuk zona Ballon d'Or.

Yang luar biasa dalam laga ini, ia seperti tidak perlu sampai banting tulang untuk mencetak angka. Striker gaek cukup memaksimalkan kesalahan dan blunder yang dibuat para pemain PSG sendiri.

Bagaimana bisa bola di kaki kiper Gianluigi Donnarumma mudah direbut saat proses gol pertama? Apa yang Neymar pikirkan saat salah umpan yang memicu serangan balik untuk gol kedua? Dan betapa mudah pemain PSG Marquinhos memberikan asisst di depan gawang untuk gol ketiga?

Kesalahan-kesalahan sederhana namun fatal akibatnya. Benzema ada di sana untuk langsung memberikan hukumannya.

Saat semua memusatkan kekaguman pada calon pangeran baru Madrid, 'Sang Raja' membuat tiga aksi mengagumkan dan kembali mengingatkan bahwa Santiago Bernabeu masihlah istananya.

Jika Ronaldo menonton ini dari sofanya di Manchester, ia mungkin bakal bertepuk tangan. Aksi semacam inilah yang dulu sering dilakukan Ronaldo: penuh bakat, efisensi, dan nyali. Pemain veteran Prancis kini menjadi pahlawan yang mampu menarik tim dari pinggir jurang, sama seperti CR7 saat di Madrid.

Kegagalan PSG

Tentu saja, kemenangan yang mengantar Los Galacticos ke perempat final bukan semata soal kesuksesan Benzema. Ini juga tentang kegagalan PSG. Sekali lagi, tim Paris kalah mental. Mereka tersedak, membuang cuma-cuma keunggulan dua gol dalam cara yang tidak terduga.

Dan ini bukan sekali terjadi. Tiga gol yang terjadi dalam 16 menit dan 41 detik semalam juga pernah mereka alami saat melawan Barcelona (ketika PSG unggul agregat 4-0 di leg pertama namun akhirnya kalah dengan agregat 6-5) lima tahun lalu.

PSG boleh saja bergonta ganti manajer maupun pemain. Namun satu hal seperti belum berubah. Selalu ada yang kurang dalam hal kepemimpinan, ketangguhan alias daya tahan konsisten, di setiap skuad, musim demi musim. Pola klub Paris seperti kisah usang yang selalu berulang.

Para pemain seringkali menjadi penyebab kekalahan tim sendiri. Mereka menguasai permainan namun mengendurkannya terlalu mudah, dan terlalu cepat.

Manajemen PSG mungkin akan menyalahkan wasit dan VAR yang membolehkan gol pertama terjadi, dimana perebutan bola Benzema ke Donnarumma, sesaat sebelum gol terjadi, mungkin harusnya dinilai sebagai pelanggaran. Ini menjadi bagian dari masalah.

Jika mereka terus bersikap seperti ini, mereka tidak akan pernah merasa salah. Mereka akan selalu mencari alasan, menuding ke arah lain, dan tidak berkaca pada diri sendiri, mengakui ada hal perlu diperbaiki di tubuh klub.

Musim ini akan segera berakhir untuk PSG. Mereka mungkin bakal memenangkan Liga 1 musim ini. Namun, dalam perjalanan ke sana, mereka juga gagal memenangkan Trophee des Champions melawan lille, mereka juga tersingkir dari babak 16 besar Piala Prancis oleh Nice, dan kini mereka juga mengalami hal sama di Liga Champions pada fase sama.

Ini mungkin musim terburuk yang pernah dialami klub sejak diambil alih Qatar Sports Investments pada 2011. Dan, sepertinya, bakal butuh waktu lama untuk melupakannya.

Sumber: ESPN

Baca juga:

Real Madrid, dari Hura-Hura Jadi Klub Raksasa

Nikmat Real Madrid Vs PSG di Mata Neymar

Christopher Nkuku, Dibuang PSG, Kini Lebih Tajam dari Vlahovic dan Haaland

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Mantan bek kanan di liga kampus. Masih belajar jadi versi terbaik.