
Angka vs Realita: Manipulasi Standar Kemiskinan dalam Kapitalisme dan Solusi Islam
Gaya Hidup | 2025-05-16 15:01:50
Ilusi Angka dan Ketimpangan Realitas
Data kemiskinan sering kali dijadikan alat ukur keberhasilan pembangunan ekonomi oleh pemerintah. Setiap tahun, angka resmi yang dirilis memperlihatkan penurunan jumlah penduduk miskin. Namun, benarkah kemiskinan benar-benar menurun, ataukah hanya sekadar turun di atas kertas?
Di Indonesia, garis kemiskinan nasional dihitung berdasarkan pengeluaran minimum untuk kebutuhan dasar, yang bahkan sering kali tidak mencerminkan realitas harga barang dan jasa di lapangan. Sebagai contoh, individu dengan pengeluaran sedikit di atas Rp500 ribu per bulan bisa dianggap "tidak miskin", padahal dengan jumlah tersebut, jangankan menyewa tempat tinggal layak, memenuhi gizi seimbang pun hampir mustahil. Di sisi lain, standar global yang ditetapkan oleh Bank Dunia menempatkan garis kemiskinan ekstrem pada USD 2,15 per hari atau sekitar Rp1 juta per bulan. Ini berarti banyak warga negara yang tergolong “tidak miskin” versi nasional, justru masuk kategori miskin ekstrem menurut ukuran dunia.
Perbedaan ini bukan sekadar persoalan teknis metodologi, tetapi menyingkap adanya celah besar dalam cara sistem kapitalisme memaknai dan menangani kemiskinan. Kapitalisme memandang kemiskinan secara statistik dan ekonomi makro, bukan sebagai penderitaan nyata individu di tengah-tengah masyarakat. Dalam pendekatan ini, jika angka dapat diturunkan—meskipun dengan mengubah definisi kemiskinan sekalipun—maka dianggap sebagai kemajuan.
Manipulasi Angka demi Citra dan Modal
Mengapa negara bisa begitu ngotot memainkan standar? Jawabannya adalah karena dalam sistem kapitalisme, narasi sukses pembangunan sangat penting untuk menjaga stabilitas ekonomi dan menarik investor. Penurunan angka kemiskinan menjadi alat kampanye, baik politik maupun ekonomi. Dengan mengatur batas garis kemiskinan seminimal mungkin, negara dapat mengklaim telah berhasil “mengentaskan” jutaan rakyat dari kemiskinan, meski pada kenyataannya mereka tetap hidup dalam kekurangan yang parah.
Kapitalisme mengandalkan mekanisme pasar dalam mengatur kesejahteraan. Negara cukup berperan sebagai pengatur lalu lintas ekonomi, sementara pemenuhan kebutuhan pokok diserahkan kepada daya beli individu. Siapa yang mampu mengakses pendidikan, layanan kesehatan, pangan bergizi, dan tempat tinggal yang layak, maka dialah yang "berhasil bertahan" dalam arena pasar yang kompetitif. Siapa yang gagal, dianggap kurang berusaha atau tidak produktif.
Inilah akar dari gagalnya kapitalisme dalam menghapus kemiskinan: tidak ada jaminan atas hak dasar setiap manusia. Ketimpangan bukan dianggap sebagai cacat sistem, melainkan konsekuensi alami dari persaingan pasar. Maka wajar jika kemiskinan terus ada, meski Produk Domestik Bruto naik dan investasi tumbuh.
Islam dan Pandangan Hakiki terhadap Kemiskinan
Berbeda dengan kapitalisme, Islam memiliki pandangan yang adil dan menyeluruh terhadap kemiskinan. Dalam Islam, pemenuhan kebutuhan dasar—makanan, pakaian, dan tempat tinggal—bukanlah pilihan atau akibat dari mekanisme pasar, melainkan hak setiap individu yang wajib dipenuhi oleh negara.
Kemiskinan, dalam pandangan Islam, bukan hanya urusan ekonomi, melainkan urusan kemanusiaan yang menjadi tanggung jawab negara. Negara dalam sistem Islam tidak hanya hadir sebagai regulator, melainkan sebagai penanggung jawab langsung atas kesejahteraan rakyatnya. Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah ﷺ bersabda:
"Imam (khalifah) adalah pemelihara dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya, ketika ada seorang rakyat yang kelaparan, tidak memiliki pakaian layak, atau tinggal di tempat tak manusiawi, maka itu menjadi beban tanggung jawab negara, bukan semata-mata masalah pribadi.
Sistem Islam Menjawab dengan Praktik Nyata
Islam tidak berhenti pada idealisme. Dalam sejarahnya, Islam telah membuktikan bagaimana kemiskinan dapat dihapus hingga ke akar-akarnya. Negara Islam bukan hanya menyantuni, tetapi juga membangun sistem distribusi kekayaan yang adil, memberantas penimbunan harta, dan mengelola sumber daya alam demi kepentingan rakyat, bukan korporasi.
Penerapan zakat, infak, sedekah, dan wakaf bukan hanya sebagai ibadah personal, tetapi diorganisir secara sistemik oleh negara melalui lembaga keuangan yang disebut Baitul Maal. Dana dari Baitul Maal digunakan untuk memberi santunan tetap kepada fakir miskin, membiayai pendidikan gratis, menyediakan layanan kesehatan, hingga menyediakan rumah bagi yang tidak mampu.
Sumber daya alam, seperti tambang, air, dan energi tidak boleh dimiliki individu atau swasta, melainkan menjadi milik umum yang dikelola negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat. Ini adalah bentuk nyata dari distribusi kekayaan secara merata.
Negara Islam juga memastikan adanya penciptaan lapangan kerja dan menjamin upah yang adil. Jika ada individu yang kehilangan pekerjaan dan tak mampu memenuhi kebutuhannya, negara wajib mengintervensi. Tidak ada ruang bagi spekulasi, riba, dan monopoli dalam ekonomi Islam, karena semuanya hanya akan memperlebar jurang antara kaya dan miskin.
Bukti Sejarah: Kemiskinan Bisa Dihapus
Sistem ini bukan utopia. Sejarah mencatat, pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, sulit ditemukan orang yang mau menerima zakat karena seluruh kebutuhan pokok mereka telah terpenuhi. Petugas zakat pun kebingungan menyalurkan dana karena tidak ada lagi rakyat yang miskin. Ini bukan karena statistik direkayasa, tetapi karena sistem diterapkan dengan adil dan menyeluruh.
Inilah perbedaan fundamental antara Islam dan kapitalisme. Islam tidak sekadar menurunkan angka kemiskinan, tetapi benar-benar menghapus realitas kemiskinan dengan mencabut akarnya melalui kebijakan yang berpihak pada rakyat.
Saatnya Menatap Ulang Sistem yang Kita Gunakan
Sudah saatnya kita berhenti terjebak dalam permainan angka yang menyesatkan. Kemiskinan bukan persoalan statistik, tapi soal keadilan sistemik. Sebuah sistem yang hanya mengandalkan pertumbuhan ekonomi tanpa kepastian distribusi kekayaan tidak akan pernah menyelesaikan masalah kemiskinan, bahkan hanya akan memperparahnya.
Kapitalisme telah terbukti gagal menyejahterakan rakyat. Ia justru melanggengkan ketimpangan, memanipulasi angka, dan menjadikan kemiskinan sebagai peluang bisnis. Sementara Islam menawarkan sistem yang telah teruji, baik secara nilai maupun praktik. Islam menempatkan manusia sebagai subjek utama, dan negara sebagai pelayan bagi kesejahteraan umat.
Kini, pertanyaannya bukan lagi apakah Islam mampu mengatasi kemiskinan. Tapi, apakah kita bersedia membuka mata untuk memberikan ruang bagi sistem yang telah terbukti adil dan mensejahterakan?
#KemiskinanStruktural, #Kemiskinan, #Kapitalisme, #Viral, #Literasi
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.